Pages

Tuesday, July 22, 2014

Sistem Diversi Rawan Jadi Pemerasan

Pada tanggal 15 Juli 2014, dua orang staf ATMA (Adi C. Kristiyanto dan Dunung Sukocowati) di wawancarai oleh Solopos mengenai implementasi undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Kemudian masuk dalam artikel solopos yang berjudul "Sistem Diversi Rawan jadi Pemerasan", terbit pada: Senin Legi, 21 Juli 2014.

Dunung diwawancarai SOLOPOS
Dunung Sukocowati saat diwawancarai oleh wartawan SOLOPOS

Pendekatan diversi dalam kasus pidana yang melibatkan anak bertujuan menjaga hak-hak anak dan masa depan anak.

Dalam tataran praktis, pendekatan diversi bisa dimanfaatkan orang-orang tertentu sehingga menjadi saran untuk memeras pelaku.

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak.

Dua paragraf di atas adalah petikan alinea pembukaan Penjelasan Undang-Undang (UU) No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Salah satu yang menarik dari UU yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2014 itu adalah pendekatan diversi dalam menangani kasus pidana yang melibatkan anak baik dia sebagai pelaku, korban, maupun saksi.

Sesuai pasal 6 ayat (a) sampai (e) UU tersebut, tujuan  pemberlakuan diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

...

Aktivis Yayasan ATMA Solo, Adi Cahyo Kristiyanto beranggapan semangat implementasi UU No.12/2012 masih belum diimbangi dengan kesiapan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. implementasi UU itu diibaratkan jauh tungku dari arang. Hal mendasar yang menjadi kendala adalah pola pikir kebanyakan orang yang menganggap setiap kesalahan harus diproses secara hukum. 
"Fenomenanya, masyarakat menjadi individual. Segala sesuatu dihitung secara materi. Kasus kenakalan anak atau anak yang melanggar ketertiban biasanya akan diproses secara hukum. Semangat menghukum anak lebih dominan daripada mendidiknya supaya menjadi lebih baik". 
UU tersebut masih memiliki beberapa kelemahan, dan kelemahan utamanya adalah proses diversi dapat dimainkan oleh beberapa orang tertentu untuk mendapatkan uang.
"Kata damai itu dalam UU ada klausul terdapat kesepakatan. Nah, kalau sepakat dengan meminta imbalan uang bagaimana? Saya menilai diversi bisa menjadi komoditas ekonomi. Hal itu berpotensi melahirkan pemerasan korban terhadap pelaku. Atau ada pihak yang memanfaatkan kondisi itu untuk jadi makelar diversi? Hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya."

...

Artikel ini dikutip dari Koran SOLOPOS, pada Senin Legi, 21 Juli 2014 dengan judul "Sistem Diversi Rawan jadi Pemerasan".

0 comments:

Post a Comment