Pages

Thursday, July 10, 2014

Mempertanyakan Anak Berhadapan Hukum (ABH) di Kota Layak Anak (Part 2)

Bagaimana Hak Partisipasi Anak Berhadapan Hukum (ABH)?

Hak ABH di KLA


Berbicara tentang tema partisipasi anak dalam konferensi tersebut (lihat di sini) sayangnya problem ABH belum disinggung oleh para pemerhati anak. Padahal persoalan ABH juga perlu untuk dicermati bersama termasuk bagaimana keberadaan mereka untuk memiliki ruang  berpartisipasi menyuarakan hak-haknya. Hal ini penting untuk melihat sejauhmana segala perencanaan pembangunan untuk anak berperspektif pada hak dan kebutuhan anak tanpa terkecuali ABH, tentunya dengan tidak melihat latar belakangnya. Hukum telah menjamin bahwa anak berhak untuk menyampaikan aspirasi untuk didengar pendapatnya, tentunya dalam segala aspek yang menyangkut berlangsungnya kehidupan anak. Hak – hak anak telah dijamin dan dilindungi oleh negara melalui berbagai instrumen hukum yakni di dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,  dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada prinsipnya apapun situasi dan kondisi anak pihak-pihak yang bertanggungjawab dan berkewajiban harus tetap memenuhi hak anak pun tidak terkecuali pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Namun bagaimana dengan hak mereka? Sudah terakomodasikah? seberapa besar problem ini menjadi perhatian para pemangku kebijakan dan menjadi kepedulian masyarakat untuk terpenuhinya hak-hak mereka ? Menjawab soal partisipasi anak, sudah tentu partisipasi anak dijadikan fokus penting pembangunan dari dan untuk anak, maka tidak berlebihan jika ABH memiliki hak untuk menyuarakan berbagai problem yang dihadapinya. Mulai persoalan hak di bidang hukum, hak – hak sipil, sosial, pendidikan dan kesehatan. Karena persoalan pemenuhan hak ABH seakan masih menjadi benang kusut hingga sekarang baik bagi anak korban maupun pelaku. Persoalan hukum yang mereka hadapi seringkali berefek timbulnya persoalan lain menyangkut hak-hak yang semestinya harus tetap ia terima menyangkut hak-hak sipilnya. Belum selesai proses hukum yang dihadapi oleh mereka, kadangkala timbul masalah lain berupa diskriminasi hak dan perlakuan. Tidak adanya perhatian/dukungan dari keluarga, dikeluarkan dari sekolah, dijauhi teman, diusir oleh masyarakat adalah realita sekelumit persoalan yang mereka hadapi. Di satu sisi hukum memberi perlindungan khusus terhadap mereka, namun tidak semua akses hak-hak ABH bisa mulus didapatkan. Banyak problem dan kendala ketika ABH ingin memperoleh hak-haknya, tidak hanya hak di bidang hukum namun hak-hak sipil lainnya masih sulit untuk diakses.

Sepanjang monitoring yang dilakukan oleh Yayasan ATMA dan berdasar dari data pendampingan terhadap ABH hampir 70 % (persen) dari ABH yang semula masih berstatus sebagai pelajar terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikannya (drop out). Entah dikeluarkan dari sekolah atau dikembalikan kepada orangtua karena sekolah tidak sanggup untuk mendidik/membina si anak. Problem yang dihadapi ini sebenarnya adalah problem klasik yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan menyangkut anak didiknya yang dinilai telah melanggar peraturan sekolah. Sedangkan sisanya, 30 persen saat didampingi ATMA mereka sudah tidak berstatus sebagai pelajar atau putus sekolah, penyebabnya didominasi oleh latar belakang ekonomi keluarga dan pergaulan yang salah.

Aspek hukum yang harus mereka jalani berupa penahanan hingga pada putusan penjara merampas hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan formal. Di satu sisi aturan hukum membatasi ruang gerak anak, di satu sisi aturan juga harus konsisten memberikan pemenuhan hak anak. Sehingga dibutuhkan fleksibilitas, keberpihakan dalam menerapkan kebijakan khusus pada anak mengingat masa depan mereka masih panjang untuk mencapai kehidupan yang dicita-citakannya. Harusnya meski mereka dalam posisi mendapat sanksi hukum harusnya ada mekanisme yang jelas bagi ABH untuk tetap mendapatkan hak pendidikannya. Sangat jarang pelaku anak yang tidak menjalani masa tahanan sederhana sekalipun kasusnya. Hukum di satu sisi melindungi anak-anak namun di satu sisi masih membuka peluang besar mengkriminalkan anak apalagi tidak didukung dengan SDM yang berperspektif anak dan sarana prasarana yang memadai. Umumnya perlakuan terhadap anak masih disamakan dengan orang dewasa.

Sejalan dengan prinsip deklarasi “dunia yang layak anak” bahwa pendidikan adalah untuk semua anak (education for all), suara anak harus didengar dan mereka dipastikan berpartisipasi terkait kehidupannya. Untuk itu rekomendasi dari konferensi internasional kota layak anak Asia Pasifik telah sepakat untuk melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Lantas bagaimana wujud nyata partisipasi ABH untuk terpenuhinya hak mereka, khususnya di Surakarta? Tentunya kita masih terus berharap dan menanti komitment dari para pemangku kebijakan dari legislatif, eksekutif, yudikatif, serta tentunya kepedulian keluarga, dan masyarakat luas terhadap mereka.

Artikel Mempertanyakan ABH di KLA:

Part 1

0 comments:

Post a Comment