Bagaimana Hak Partisipasi Anak Berhadapan Hukum (ABH)?
Berbicara tentang tema partisipasi anak dalam
konferensi tersebut (lihat di sini) sayangnya problem ABH belum disinggung oleh para pemerhati
anak. Padahal persoalan ABH juga perlu untuk dicermati bersama termasuk
bagaimana keberadaan mereka untuk memiliki ruang berpartisipasi menyuarakan hak-haknya. Hal
ini penting untuk melihat sejauhmana segala perencanaan pembangunan untuk anak
berperspektif pada hak dan kebutuhan anak tanpa terkecuali ABH, tentunya dengan
tidak melihat latar belakangnya. Hukum telah menjamin bahwa anak berhak untuk
menyampaikan aspirasi untuk didengar pendapatnya, tentunya dalam segala aspek
yang menyangkut berlangsungnya kehidupan anak. Hak – hak anak telah dijamin dan
dilindungi oleh negara melalui berbagai instrumen hukum yakni di dalam UU No. 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM), UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Pada prinsipnya apapun situasi dan kondisi anak pihak-pihak yang
bertanggungjawab dan berkewajiban harus tetap memenuhi hak anak pun tidak
terkecuali pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Namun bagaimana dengan hak mereka? Sudah
terakomodasikah? seberapa besar problem ini menjadi perhatian para pemangku
kebijakan dan menjadi kepedulian masyarakat untuk terpenuhinya hak-hak mereka ?
Menjawab soal partisipasi anak, sudah tentu partisipasi anak dijadikan fokus
penting pembangunan dari dan untuk anak, maka tidak berlebihan jika ABH
memiliki hak untuk menyuarakan berbagai problem yang dihadapinya. Mulai persoalan
hak di bidang hukum, hak – hak sipil, sosial, pendidikan dan kesehatan. Karena
persoalan pemenuhan hak ABH seakan masih menjadi benang kusut hingga sekarang
baik bagi anak korban maupun pelaku. Persoalan hukum yang mereka hadapi seringkali
berefek timbulnya persoalan lain menyangkut hak-hak yang semestinya harus tetap
ia terima menyangkut hak-hak sipilnya. Belum selesai proses hukum yang dihadapi
oleh mereka, kadangkala timbul masalah lain berupa diskriminasi hak dan
perlakuan. Tidak adanya perhatian/dukungan dari keluarga,
dikeluarkan dari sekolah, dijauhi teman, diusir oleh masyarakat adalah realita
sekelumit persoalan yang mereka hadapi. Di satu sisi hukum memberi perlindungan
khusus terhadap mereka, namun tidak semua akses hak-hak ABH bisa mulus
didapatkan. Banyak problem dan kendala ketika ABH ingin memperoleh hak-haknya,
tidak hanya hak di bidang hukum namun hak-hak sipil lainnya masih sulit untuk
diakses.
Sepanjang monitoring yang dilakukan oleh Yayasan
ATMA dan berdasar dari data pendampingan terhadap ABH hampir 70 % (persen) dari
ABH yang semula masih berstatus sebagai pelajar terpaksa tidak dapat
menyelesaikan pendidikannya (drop out).
Entah dikeluarkan dari sekolah atau dikembalikan kepada orangtua karena sekolah
tidak sanggup untuk mendidik/membina si anak. Problem yang dihadapi ini
sebenarnya adalah problem klasik yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga
pendidikan menyangkut anak didiknya yang dinilai telah melanggar peraturan
sekolah. Sedangkan sisanya, 30 persen saat didampingi ATMA mereka sudah tidak
berstatus sebagai pelajar atau putus sekolah, penyebabnya didominasi oleh latar
belakang ekonomi keluarga dan pergaulan yang salah.
Aspek hukum yang harus mereka jalani berupa
penahanan hingga pada putusan penjara merampas hak-hak mereka untuk mendapatkan
pendidikan formal. Di satu sisi aturan hukum membatasi ruang gerak anak, di
satu sisi aturan juga harus konsisten memberikan pemenuhan hak anak. Sehingga
dibutuhkan fleksibilitas, keberpihakan dalam menerapkan kebijakan khusus pada
anak mengingat masa depan mereka masih panjang untuk mencapai kehidupan yang
dicita-citakannya. Harusnya meski mereka dalam posisi mendapat sanksi hukum
harusnya ada mekanisme yang jelas bagi ABH untuk tetap mendapatkan hak
pendidikannya. Sangat jarang pelaku anak yang tidak menjalani masa tahanan
sederhana sekalipun kasusnya. Hukum di satu sisi melindungi anak-anak namun di
satu sisi masih membuka peluang besar mengkriminalkan anak apalagi tidak
didukung dengan SDM yang berperspektif anak dan sarana prasarana yang memadai.
Umumnya perlakuan terhadap anak masih disamakan dengan orang dewasa.
Sejalan dengan prinsip deklarasi “dunia yang
layak anak” bahwa pendidikan adalah untuk semua anak (education for all), suara anak harus didengar dan mereka dipastikan
berpartisipasi terkait kehidupannya. Untuk itu rekomendasi dari konferensi
internasional kota layak anak Asia Pasifik telah sepakat untuk melibatkan anak
dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Lantas
bagaimana wujud nyata partisipasi ABH untuk terpenuhinya hak mereka, khususnya
di Surakarta? Tentunya kita masih terus berharap dan menanti komitment dari
para pemangku kebijakan dari legislatif, eksekutif, yudikatif, serta tentunya
kepedulian keluarga, dan masyarakat luas terhadap mereka.
Artikel Mempertanyakan ABH di KLA:
Part 1
Artikel Mempertanyakan ABH di KLA:
Part 1
0 comments:
Post a Comment