Pages

Saturday, July 5, 2014

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik part 3

Peradilan Pidana Anak

Peradialan Pidana Anak


Pendapat lain dari dosen Fakultas Hukum UNS Siti Warsini, SH, MH lebih banyak menyoroti perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) selama proses hukum. Pada dasarnya prinsip-prinsip peradilan pidana anak didasarkan pada beberapa asas peradilan pidana, yaitu equality before the law, due process of law, simplicity and expediency, accountability, legality principle, dan presumption of innocent. Sistem Peradilan Pidana Anak mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat dipisahkan dalam masalah ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Problemnya hingga kini Sistem Peradilan Pidana Anak belum terwujud dengan baik. Menurutnya ada 2 (dua) hal prinsip yang dapat dijadikan indikator belum terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Anak dengan baik. 

Pertama, adalah belum adanya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang menangani khusus permasalahan ABH. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa proses peradilan perkara anak nakal sejak dari ditangkap, ditahan, diadili dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami permasalahan ABH. Dari ketentuan tersebut maka ABH berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa dan hakim khusus anak. Kedua, belum memadainya tahanan yang diperuntukkan khusus bagi anak. Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan anak dan terpisah dari tahanan dewasa. Belum memadainya tahanan yang dikhususkan bagi anak menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukan anak ke dalam tahanan bukan khusus anak dan bercampur dengan orang dewasa.

Terkait pemidanaan anak, ia meyakinkan merupakan permasalahan serius yang membutuhkan perhatian dan keseriusan stakeholders dalam menanganinya. Ia juga sependapat dengan pemerhati anak Hadi Supeno, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak untuk mencapai proses pendewasaan yang diharapkan. Karena masih banyak dijumpai adanya pengulangan tindak pidana (residive) di masyarakat khususnya yang dilakukan oleh anak.

 Pengulangan tindak pidana (residive) mengandung pengertian bahwa tindak pidana yang terjadi dalam hal orang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak mengandung pengertian bahwa ABH yang telah selesai menjalani putusan hakim, kembali melakukan perbuatan yang membuat dirinya harus berhadapan dengan hukum. Ia memaparkan, terdapat 2 (dua) kategori perilaku anak yang menyebabkan dirinya berhadapan dengan hukum, yaitu Juvenile Offender dan Juvenile Delinquency. Status Juvenile Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak termasuk dalam kategori kejahatan. Misalnya tidak menurut kepada orang tua, membolos sekolah, dll. Sedangkan Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk dalam kategori kejahatan.

Dosen mata kuliah pidana anak ini menawarkan alternatif lain yang dapat dipilih sebagai upaya penyelesaian permasalahan ABH, yaitu melalui Restorative Justice. Pada intinya fokus Restorative Justice ialah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan oleh pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama semua stakeholders dalam rangka perlindungan hak-hak ABH. Perlakuan yang tepat kepada ABH bukan dengan pemenjaraan melainkan dengan suatu tindakan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Menurutnya, selayaknya proses hukum bagi ABH yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana terpadu mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang pada akhirnya justru menjatuhkan martabat anak sesuai dengan amanah Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu orangtua dan masyarakat juga bertanggungjawab untuk mendidik, membina dan menciptakan suatu situasi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan jasmani, rohani dan moral anak sehingga diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana oleh anak. 


Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

0 comments:

Post a Comment