Peradilan Pidana Anak
Pendapat lain dari dosen Fakultas Hukum UNS Siti Warsini, SH,
MH lebih banyak menyoroti perlakuan terhadap Anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) selama proses hukum. Pada dasarnya prinsip-prinsip peradilan pidana anak didasarkan
pada beberapa asas peradilan pidana, yaitu equality
before the law, due process of law,
simplicity and expediency, accountability, legality principle, dan presumption
of innocent. Sistem Peradilan Pidana Anak mengacu pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang
tidak dapat dipisahkan dalam masalah ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Problemnya hingga kini Sistem Peradilan Pidana Anak belum
terwujud dengan baik. Menurutnya ada 2 (dua) hal prinsip yang dapat dijadikan
indikator belum terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Anak dengan baik.
Pertama, adalah belum adanya aparat
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang menangani khusus permasalahan ABH.
Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa proses peradilan perkara anak nakal
sejak dari ditangkap, ditahan, diadili dan pembinaan selanjutnya, wajib
dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami permasalahan ABH. Dari
ketentuan tersebut maka ABH berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa
dan hakim khusus anak. Kedua, belum
memadainya tahanan yang diperuntukkan khusus bagi anak. Dalam hal penahanan,
seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan
tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan anak dan terpisah
dari tahanan dewasa. Belum memadainya tahanan yang dikhususkan bagi anak
menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukan
anak ke dalam tahanan bukan khusus anak dan bercampur dengan orang dewasa.
Terkait pemidanaan anak, ia meyakinkan merupakan permasalahan serius
yang membutuhkan perhatian dan keseriusan stakeholders
dalam menanganinya. Ia juga sependapat dengan pemerhati anak Hadi Supeno, ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa penjara yang menjadi tempat
penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak
untuk mencapai proses pendewasaan yang diharapkan. Karena masih banyak dijumpai
adanya pengulangan tindak pidana (residive) di masyarakat khususnya yang
dilakukan oleh anak.
Pengulangan tindak pidana (residive) mengandung
pengertian bahwa tindak pidana yang terjadi dalam hal orang telah melakukan
suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewisjsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengulangan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak mengandung pengertian bahwa ABH yang telah
selesai menjalani putusan hakim, kembali melakukan perbuatan yang membuat
dirinya harus berhadapan dengan hukum. Ia memaparkan, terdapat 2 (dua) kategori
perilaku anak yang menyebabkan dirinya berhadapan dengan hukum, yaitu Juvenile Offender dan Juvenile Delinquency. Status Juvenile Offender adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak termasuk dalam
kategori kejahatan. Misalnya tidak menurut kepada orang tua, membolos sekolah,
dll. Sedangkan Juvenile Delinquency adalah
perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk dalam
kategori kejahatan.
Dosen mata kuliah pidana anak ini menawarkan alternatif
lain yang dapat dipilih sebagai upaya penyelesaian permasalahan ABH, yaitu
melalui Restorative Justice. Pada
intinya fokus Restorative Justice
ialah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan oleh pelaku, mengembangkan
pemulihan bagi korban dan masyarakat serta mengembalikan pelaku kepada
masyarakat. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama semua stakeholders dalam
rangka perlindungan hak-hak ABH. Perlakuan yang tepat kepada ABH bukan dengan
pemenjaraan melainkan dengan suatu tindakan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu mengembalikan kepada orangtua, wali,
orangtua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja.
Menurutnya, selayaknya proses hukum bagi ABH yang masuk ke dalam sistem
peradilan pidana terpadu mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang pada akhirnya
justru menjatuhkan martabat anak sesuai dengan amanah Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu orangtua dan
masyarakat juga bertanggungjawab untuk mendidik, membina dan menciptakan suatu
situasi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan jasmani, rohani dan moral
anak sehingga diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana oleh anak.
Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:
0 comments:
Post a Comment