Pages

Saturday, July 5, 2014

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik part 2

Melihat Persoalan dari Kacamata Anak

Melihat persoalan dari kacamata anak


Maraknya fenomena anak melakukan tindak pidana, bahkan diantara mereka tidak sedikit menjadi residivis, bahkan lebih mengkhawatirkan. Sehingga diperlukan penanganan yang ekstra hati-hati, dan tidak parsial. Penanganan delinkuensi anak tidak sekedar berhenti pada soal vonis pengadilan. Namun pemenuhan hak – hak dasar anak harus mendapatkan prioritas dalam berbagai situasi apapun, juga ketika anak berhadapan dengan hukum. Terutama rehabilitasi psikososialnya harus dipenuhi dengan melihat problem dasar si anak. Jika persoalan delinkuensi anak hanya dilihat dari perspektif hukum maka persoalan ini tidak akan pernah selesai karena problem dasar anak tidak terselesaikan yakni mencakup aspek internal dan eksternal. 

Menurut Kepala BAPAS Surakarta Ahmad Hardi, Bc.IP., SH, MM anak-anak yang melakukan tindak pidana dilatarbelakangi oleh masalah tekanan ekonomi, kurangnya kepedulian masyarakat, dan pengaruh lingkungan pergaulan. Karena kondisi yang masih labil, mengakibatkan mereka mudah terpengaruh untuk berbuat negatif. Rata-rata anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa baik buruknya dampak perbuatan yang akan dilakukannya. Umumnya pada kasus-kasus residive faktor tekanan ekonomi dan pengaruh lingkungan lebih dominan, sedangkan kalau dilihat dari segi bakat sangat kecil kemungkinannya. Namun selama ini BAPAS tidak pernah memiliki klien residive anak, tegasnya menambahkan.  

Ketika kami menanyakan peran yang dilakukan BAPAS terkait anak pelaku tindak pidana, ia memaparkan bahwa kewenangan BAPAS terbatas pada pelaksanaan yang mencakup tiga hal penting; pertama  pre ejudication meliputi penyajian data keluarga, latar belakang anak, pergaulan, sekolah, karakter, dan memuat saran-saran untuk diajukan di persidangan; kedua, ejudication mendampingi anak di persidangan dilakukan oleh pendamping kemasyarakatan; ketiga post ejudication, setelah anak diputus pidana pendamping kemasyarakatan mengintegrasikan anak kembali ke lingkungan keluarga/masyarakat. Menurutnya BAPAS tidak dapat berbuat lebih banyak untuk menangani ABH karena keterbatasan ruang gerak. Kewenangan BAPAS hanya dapat mengawasi anak selama pada masa bimbingan. Sehingga BAPAS tidak dapat mengawasi anak terus menerus, Di satu sisi anak juga berhak untuk tidak diawasi. Menangani persoalan ABH perlu kepedulian semua pihak, tidak dapat mengandalkan institusi formal sebagai harapan mutlak. Semua lapisan masyarakat dari tingkat bawah harus terlibat, demikian juga pemerintah setempat, “ tegasnya.


Ditemui secara terpisah di ruang kerjanya, Kasi Intel Kejaksaan Negeri Surakarta Sunarko juga berpendapat untuk penanganan perkara anak harus lintas sektoral, sedangkan jika melihat latar belakang yang ditemuinya pada kasus delinkuensi anak pada umumnya anak-anak yang melakukan tindak pidana tidak mendapatkan kenyamanan ketika di tengah-tengah keluarganya, umumnya mereka frustasi, dan ingin mendapatkan perhatian. Mereka mencoba mencari jati diri namun terjerumus melakukan perilaku yang melanggar norma dan etika. Namun dilihat dari segi latar belakang sosialnya merata, tidak selalu ditemukan pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Kasus-kasus yang masih sering dijumpai antara lain adalah pencurian, narkotika, pelecehan seksual, juga pembunuhan.

Menyoal penanganan yang tepat menurutnya lebih dikembalikan pada keluarga untuk memberikan perhatian yang cukup pada anak, penanaman nilai-nilai agama/religi. Terkait penyelesaian kasus-kasus ABH tugas jaksa melakukan penuntutan sesuai aturan hukum yang sudah ada, nantinya tergantung penilaian hakim,” tambahnya. Ia menegaskan tindak pidana yang dilakukan anak tidak harus dipidana, bisa jadi mereka menjadi anak negara. Problemnya jika menerapkan Restorative Justice (RJ) semua sisi harus dilihat. Hal ini menjadi kontradiksi, seringkali pemahaman masyarakat pelaku memang harus dihukum. “Pencuri kok dilepaskan”, ini korban dan masyarakat tidak bisa menerima kalau tidak dihukum penjara. Umumnya masyarakat itu tahunya kalau kasus anak juga harus dipidana, apalagi pada kasus residivis, paparnya. Pada residivis anak juga berlaku tindak pidana yang dilakukan akan memberatkan hukumannya. Aspek-aspek yang dilihat diantaranya berulangkali, berbelit-belit, sudah menikmati hasilnya, dan meresahkan masyarakat. Aspek normatif menjadi acuan jaksa untuk menuntut sanksi pemidanaan dengan maksud agar si anak jera.

Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

Part 1
Part 3
Part 4

0 comments:

Post a Comment