Plank

Penampakan plang kantor yayasan ATMA Solo.

Banner Perjuangan Untuk Perempuan

Perempuan berhak mendapat keadilan dan bebas dari kekerasan

Salah satu prog ATMA

Pelatihan pencegahan dan penanganan di Wonogiri yang merupakan kerja sama dengan WDP pada tahun 2012

Meeting

Pertemuan dengan WDP

Meeting2

Pertemuan yang diadakan oleh ATMA

Pages

Tuesday, July 22, 2014

Sistem Diversi Rawan Jadi Pemerasan

Pada tanggal 15 Juli 2014, dua orang staf ATMA (Adi C. Kristiyanto dan Dunung Sukocowati) di wawancarai oleh Solopos mengenai implementasi undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Kemudian masuk dalam artikel solopos yang berjudul "Sistem Diversi Rawan jadi Pemerasan", terbit pada: Senin Legi, 21 Juli 2014.

Dunung diwawancarai SOLOPOS
Dunung Sukocowati saat diwawancarai oleh wartawan SOLOPOS

Pendekatan diversi dalam kasus pidana yang melibatkan anak bertujuan menjaga hak-hak anak dan masa depan anak.

Dalam tataran praktis, pendekatan diversi bisa dimanfaatkan orang-orang tertentu sehingga menjadi saran untuk memeras pelaku.

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak.

Dua paragraf di atas adalah petikan alinea pembukaan Penjelasan Undang-Undang (UU) No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Salah satu yang menarik dari UU yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2014 itu adalah pendekatan diversi dalam menangani kasus pidana yang melibatkan anak baik dia sebagai pelaku, korban, maupun saksi.

Sesuai pasal 6 ayat (a) sampai (e) UU tersebut, tujuan  pemberlakuan diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

...

Aktivis Yayasan ATMA Solo, Adi Cahyo Kristiyanto beranggapan semangat implementasi UU No.12/2012 masih belum diimbangi dengan kesiapan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. implementasi UU itu diibaratkan jauh tungku dari arang. Hal mendasar yang menjadi kendala adalah pola pikir kebanyakan orang yang menganggap setiap kesalahan harus diproses secara hukum. 
"Fenomenanya, masyarakat menjadi individual. Segala sesuatu dihitung secara materi. Kasus kenakalan anak atau anak yang melanggar ketertiban biasanya akan diproses secara hukum. Semangat menghukum anak lebih dominan daripada mendidiknya supaya menjadi lebih baik". 
UU tersebut masih memiliki beberapa kelemahan, dan kelemahan utamanya adalah proses diversi dapat dimainkan oleh beberapa orang tertentu untuk mendapatkan uang.
"Kata damai itu dalam UU ada klausul terdapat kesepakatan. Nah, kalau sepakat dengan meminta imbalan uang bagaimana? Saya menilai diversi bisa menjadi komoditas ekonomi. Hal itu berpotensi melahirkan pemerasan korban terhadap pelaku. Atau ada pihak yang memanfaatkan kondisi itu untuk jadi makelar diversi? Hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya."

...

Artikel ini dikutip dari Koran SOLOPOS, pada Senin Legi, 21 Juli 2014 dengan judul "Sistem Diversi Rawan jadi Pemerasan".

Thursday, July 10, 2014

Mempertanyakan Anak Berhadapan Hukum (ABH) di Kota Layak Anak (Part 2)

Bagaimana Hak Partisipasi Anak Berhadapan Hukum (ABH)?

Hak ABH di KLA


Berbicara tentang tema partisipasi anak dalam konferensi tersebut (lihat di sini) sayangnya problem ABH belum disinggung oleh para pemerhati anak. Padahal persoalan ABH juga perlu untuk dicermati bersama termasuk bagaimana keberadaan mereka untuk memiliki ruang  berpartisipasi menyuarakan hak-haknya. Hal ini penting untuk melihat sejauhmana segala perencanaan pembangunan untuk anak berperspektif pada hak dan kebutuhan anak tanpa terkecuali ABH, tentunya dengan tidak melihat latar belakangnya. Hukum telah menjamin bahwa anak berhak untuk menyampaikan aspirasi untuk didengar pendapatnya, tentunya dalam segala aspek yang menyangkut berlangsungnya kehidupan anak. Hak – hak anak telah dijamin dan dilindungi oleh negara melalui berbagai instrumen hukum yakni di dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,  dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada prinsipnya apapun situasi dan kondisi anak pihak-pihak yang bertanggungjawab dan berkewajiban harus tetap memenuhi hak anak pun tidak terkecuali pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Namun bagaimana dengan hak mereka? Sudah terakomodasikah? seberapa besar problem ini menjadi perhatian para pemangku kebijakan dan menjadi kepedulian masyarakat untuk terpenuhinya hak-hak mereka ? Menjawab soal partisipasi anak, sudah tentu partisipasi anak dijadikan fokus penting pembangunan dari dan untuk anak, maka tidak berlebihan jika ABH memiliki hak untuk menyuarakan berbagai problem yang dihadapinya. Mulai persoalan hak di bidang hukum, hak – hak sipil, sosial, pendidikan dan kesehatan. Karena persoalan pemenuhan hak ABH seakan masih menjadi benang kusut hingga sekarang baik bagi anak korban maupun pelaku. Persoalan hukum yang mereka hadapi seringkali berefek timbulnya persoalan lain menyangkut hak-hak yang semestinya harus tetap ia terima menyangkut hak-hak sipilnya. Belum selesai proses hukum yang dihadapi oleh mereka, kadangkala timbul masalah lain berupa diskriminasi hak dan perlakuan. Tidak adanya perhatian/dukungan dari keluarga, dikeluarkan dari sekolah, dijauhi teman, diusir oleh masyarakat adalah realita sekelumit persoalan yang mereka hadapi. Di satu sisi hukum memberi perlindungan khusus terhadap mereka, namun tidak semua akses hak-hak ABH bisa mulus didapatkan. Banyak problem dan kendala ketika ABH ingin memperoleh hak-haknya, tidak hanya hak di bidang hukum namun hak-hak sipil lainnya masih sulit untuk diakses.

Sepanjang monitoring yang dilakukan oleh Yayasan ATMA dan berdasar dari data pendampingan terhadap ABH hampir 70 % (persen) dari ABH yang semula masih berstatus sebagai pelajar terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikannya (drop out). Entah dikeluarkan dari sekolah atau dikembalikan kepada orangtua karena sekolah tidak sanggup untuk mendidik/membina si anak. Problem yang dihadapi ini sebenarnya adalah problem klasik yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan menyangkut anak didiknya yang dinilai telah melanggar peraturan sekolah. Sedangkan sisanya, 30 persen saat didampingi ATMA mereka sudah tidak berstatus sebagai pelajar atau putus sekolah, penyebabnya didominasi oleh latar belakang ekonomi keluarga dan pergaulan yang salah.

Aspek hukum yang harus mereka jalani berupa penahanan hingga pada putusan penjara merampas hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan formal. Di satu sisi aturan hukum membatasi ruang gerak anak, di satu sisi aturan juga harus konsisten memberikan pemenuhan hak anak. Sehingga dibutuhkan fleksibilitas, keberpihakan dalam menerapkan kebijakan khusus pada anak mengingat masa depan mereka masih panjang untuk mencapai kehidupan yang dicita-citakannya. Harusnya meski mereka dalam posisi mendapat sanksi hukum harusnya ada mekanisme yang jelas bagi ABH untuk tetap mendapatkan hak pendidikannya. Sangat jarang pelaku anak yang tidak menjalani masa tahanan sederhana sekalipun kasusnya. Hukum di satu sisi melindungi anak-anak namun di satu sisi masih membuka peluang besar mengkriminalkan anak apalagi tidak didukung dengan SDM yang berperspektif anak dan sarana prasarana yang memadai. Umumnya perlakuan terhadap anak masih disamakan dengan orang dewasa.

Sejalan dengan prinsip deklarasi “dunia yang layak anak” bahwa pendidikan adalah untuk semua anak (education for all), suara anak harus didengar dan mereka dipastikan berpartisipasi terkait kehidupannya. Untuk itu rekomendasi dari konferensi internasional kota layak anak Asia Pasifik telah sepakat untuk melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Lantas bagaimana wujud nyata partisipasi ABH untuk terpenuhinya hak mereka, khususnya di Surakarta? Tentunya kita masih terus berharap dan menanti komitment dari para pemangku kebijakan dari legislatif, eksekutif, yudikatif, serta tentunya kepedulian keluarga, dan masyarakat luas terhadap mereka.

Artikel Mempertanyakan ABH di KLA:

Part 1

Mempertanyakan Anak Berhadapan Hukum (ABH) di Kota Layak Anak (part 1)

Konferensi KLA (Kota Layak Anak) di Surakarta

Karnaval Kota Layak Anak


Konferensi Internasional ke-2 Kota Layak Anak (KLA) Asia Pasifik (International Conference on 2nd Child Friendly Asia Pacific) yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bertempat di kota Surakarta mengusung tema Partisipasi Anak (Engaging Child) dengan melibatkan peserta dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik.  Acara yang berlangsung selama 3 (tiga) hari sejak tanggal 30 Juni sampai dengan 2 Juli 2011 lalu cukup menarik simpati masyarakat Surakarta dan sekitarnya. Penyelenggaraan konferensi ini diharapkan ada komitment dan peran aktif stakeholder dari pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, masyarakat, maupun dunia usaha. Karena tujuan ini tidak akan terwujud jika tidak ada komitment dan sinergi dari para pemangku kepentingan. Pengembangan KLA bertujuan untuk membangun insiatif pemerintah kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak anak. Terpilihnya kota Surakarta sebagai tuan rumah penyelenggara konferensi ini tidak terlepas dari adanya komitment yang tinggi dari pemerintah kota untuk mengembangkan kota Surakarta sebagai kota yang layak anak. Tidak terlupakan adalah peran serta masyarakat yang mendukung terwujudnya kota Surakarta mencapai tujuan KLA.

 Rangkaian kemeriahan acara ini diisi dengan karnaval yang diikuti oleh perwakilan anak-anak di berbagai wilayah di nusantara, lebih dari 2000 anak berpartisipasi menyukseskan acara ini. Antusiasme masyarakat ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat turun ke jalan untuk melihat karnaval tersebut. Selain pertunjukan seni budaya anak, dan karnaval juga diselenggarakan diskusi panel anak sebagai warga negara aktif, workshop pelibatan anak secara aktif dan pandangan anak, sharing pengalaman beberapa negara dalam pengembangan KLA,  simposium anak dan pengurangan risiko bencana. Dalam forum tersebut anak mengungkapkan apa yang menjadi harapan dan keinginannya. Pada dasarnya anak-anak ingin suaranya didengar oleh para pemangku kepentingan juga pengambil kebijakan. Kemeriahan rangkaian kegiatan konferensi didukung dengan berlangsungnya beberapa event yang bersamaan yakni pertemuan tahunan Forum Anak Nasional (FAN), gerakan menanam pohon bersama anak di Taman Balekambang, peringatan hari anak nasional dan hari keluarga nasional, jambore anak tingkat Propinsi Jawa Tengah, Solo International Performing Arts (SIPA) sebagai salah satu pertunjukan seni dan budaya yang turut mewarnai  kegiatan konferensi.

Konferensi secara resmi dibuka oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (menneg PP) Linda Amalia Sari Gumelar. Dalam sambutannya ia menegaskan negara Indonesia berkomitment untuk mempercepat pemenuhan hak – hak anak dengan mengembangkan kabupaten/kota layak anak (KLA). Ini sebagai bentuk kesepakatan pemerintah atas deklarasi “World Fit for Children” (dunia yang ramah/layak anak) untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Negara – negara yang berpartisipasi dalam acara ini turut mempresentasikan konsep pengembangan KLA di negaranya berikut kendala dan keberhasilan dalam mengembangkan dunia yang ramah anak. Sebagai contoh negara Australia memaparkan konsep KLA dari anak untuk anak. Australia membuat renovasi taman bermain semua kerativitas ide berasal dari anak dan dirumuskan oleh seorang arsitek untuk mengaplikasikan ide-ide anak. Di Indonesia, contohnya di Jakarta terdapat perpustakaan untuk anak dengan konsep sesuai keinginan anak digagas oleh seorang arsitek dan pengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia bernama Paramitha Atmodiwirjo.

Artikel Mempertanyakan ABH di KLA
Part 2

Saturday, July 5, 2014

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik Part 4

Restorative Justice

Restorative justice untuk peradilan anak


Restorative justice merupakan peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak (stakeholder). Restorative justice disebut sebagai alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.

Melihat fakta persoalan latar belakang delinkuensi anak, dan sisi-sisi kelemahan dari sistem peradilan pidana anak yang belum sepenuhnya mengcover terpenuhinya hak-hak anak berhadapan hukum, semangat pensejahteraan anak dan penggunaan alternatif lain dalam penyelesaian perkara delinkuensi anak tentu menjadi catatan dan renungan bagi semua pihak yang terkait baik dari kalangan keluarga dan masyarakat tempat dimana si anak tumbuh dan berkembang, dari kalangan pemerhati anak, politisi, akademisi, masyarakat, aparat penegak hukum, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, juga media massa untuk bersama-sama melihat dan menangani persoalan anak dari kacamata anak. Patut untuk dijadikan catatan bahawa aspek pemidanaan pada perkara delinkuensi anak harus ditinjau ulang jika itu diterapkan pada anak, apalagi pada kasus anak yang ringan perlu didorong diterapkannya Restorative Justice (RJ). Maka tidak berlebihan jika kita berharap mekanisme Restorative Justice akan menjadi agenda penting untuk diatur dalam sistem peradilan pidana anak. Jawabannya, Restorative Justice (RJ) harus diterapkan.


Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik part 3

Peradilan Pidana Anak

Peradialan Pidana Anak


Pendapat lain dari dosen Fakultas Hukum UNS Siti Warsini, SH, MH lebih banyak menyoroti perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) selama proses hukum. Pada dasarnya prinsip-prinsip peradilan pidana anak didasarkan pada beberapa asas peradilan pidana, yaitu equality before the law, due process of law, simplicity and expediency, accountability, legality principle, dan presumption of innocent. Sistem Peradilan Pidana Anak mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat dipisahkan dalam masalah ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Problemnya hingga kini Sistem Peradilan Pidana Anak belum terwujud dengan baik. Menurutnya ada 2 (dua) hal prinsip yang dapat dijadikan indikator belum terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Anak dengan baik. 

Pertama, adalah belum adanya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang menangani khusus permasalahan ABH. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa proses peradilan perkara anak nakal sejak dari ditangkap, ditahan, diadili dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami permasalahan ABH. Dari ketentuan tersebut maka ABH berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa dan hakim khusus anak. Kedua, belum memadainya tahanan yang diperuntukkan khusus bagi anak. Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan anak dan terpisah dari tahanan dewasa. Belum memadainya tahanan yang dikhususkan bagi anak menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukan anak ke dalam tahanan bukan khusus anak dan bercampur dengan orang dewasa.

Terkait pemidanaan anak, ia meyakinkan merupakan permasalahan serius yang membutuhkan perhatian dan keseriusan stakeholders dalam menanganinya. Ia juga sependapat dengan pemerhati anak Hadi Supeno, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak untuk mencapai proses pendewasaan yang diharapkan. Karena masih banyak dijumpai adanya pengulangan tindak pidana (residive) di masyarakat khususnya yang dilakukan oleh anak.

 Pengulangan tindak pidana (residive) mengandung pengertian bahwa tindak pidana yang terjadi dalam hal orang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak mengandung pengertian bahwa ABH yang telah selesai menjalani putusan hakim, kembali melakukan perbuatan yang membuat dirinya harus berhadapan dengan hukum. Ia memaparkan, terdapat 2 (dua) kategori perilaku anak yang menyebabkan dirinya berhadapan dengan hukum, yaitu Juvenile Offender dan Juvenile Delinquency. Status Juvenile Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak termasuk dalam kategori kejahatan. Misalnya tidak menurut kepada orang tua, membolos sekolah, dll. Sedangkan Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk dalam kategori kejahatan.

Dosen mata kuliah pidana anak ini menawarkan alternatif lain yang dapat dipilih sebagai upaya penyelesaian permasalahan ABH, yaitu melalui Restorative Justice. Pada intinya fokus Restorative Justice ialah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan oleh pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama semua stakeholders dalam rangka perlindungan hak-hak ABH. Perlakuan yang tepat kepada ABH bukan dengan pemenjaraan melainkan dengan suatu tindakan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Menurutnya, selayaknya proses hukum bagi ABH yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana terpadu mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang pada akhirnya justru menjatuhkan martabat anak sesuai dengan amanah Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu orangtua dan masyarakat juga bertanggungjawab untuk mendidik, membina dan menciptakan suatu situasi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan jasmani, rohani dan moral anak sehingga diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana oleh anak. 


Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik part 2

Melihat Persoalan dari Kacamata Anak

Melihat persoalan dari kacamata anak


Maraknya fenomena anak melakukan tindak pidana, bahkan diantara mereka tidak sedikit menjadi residivis, bahkan lebih mengkhawatirkan. Sehingga diperlukan penanganan yang ekstra hati-hati, dan tidak parsial. Penanganan delinkuensi anak tidak sekedar berhenti pada soal vonis pengadilan. Namun pemenuhan hak – hak dasar anak harus mendapatkan prioritas dalam berbagai situasi apapun, juga ketika anak berhadapan dengan hukum. Terutama rehabilitasi psikososialnya harus dipenuhi dengan melihat problem dasar si anak. Jika persoalan delinkuensi anak hanya dilihat dari perspektif hukum maka persoalan ini tidak akan pernah selesai karena problem dasar anak tidak terselesaikan yakni mencakup aspek internal dan eksternal. 

Menurut Kepala BAPAS Surakarta Ahmad Hardi, Bc.IP., SH, MM anak-anak yang melakukan tindak pidana dilatarbelakangi oleh masalah tekanan ekonomi, kurangnya kepedulian masyarakat, dan pengaruh lingkungan pergaulan. Karena kondisi yang masih labil, mengakibatkan mereka mudah terpengaruh untuk berbuat negatif. Rata-rata anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa baik buruknya dampak perbuatan yang akan dilakukannya. Umumnya pada kasus-kasus residive faktor tekanan ekonomi dan pengaruh lingkungan lebih dominan, sedangkan kalau dilihat dari segi bakat sangat kecil kemungkinannya. Namun selama ini BAPAS tidak pernah memiliki klien residive anak, tegasnya menambahkan.  

Ketika kami menanyakan peran yang dilakukan BAPAS terkait anak pelaku tindak pidana, ia memaparkan bahwa kewenangan BAPAS terbatas pada pelaksanaan yang mencakup tiga hal penting; pertama  pre ejudication meliputi penyajian data keluarga, latar belakang anak, pergaulan, sekolah, karakter, dan memuat saran-saran untuk diajukan di persidangan; kedua, ejudication mendampingi anak di persidangan dilakukan oleh pendamping kemasyarakatan; ketiga post ejudication, setelah anak diputus pidana pendamping kemasyarakatan mengintegrasikan anak kembali ke lingkungan keluarga/masyarakat. Menurutnya BAPAS tidak dapat berbuat lebih banyak untuk menangani ABH karena keterbatasan ruang gerak. Kewenangan BAPAS hanya dapat mengawasi anak selama pada masa bimbingan. Sehingga BAPAS tidak dapat mengawasi anak terus menerus, Di satu sisi anak juga berhak untuk tidak diawasi. Menangani persoalan ABH perlu kepedulian semua pihak, tidak dapat mengandalkan institusi formal sebagai harapan mutlak. Semua lapisan masyarakat dari tingkat bawah harus terlibat, demikian juga pemerintah setempat, “ tegasnya.


Ditemui secara terpisah di ruang kerjanya, Kasi Intel Kejaksaan Negeri Surakarta Sunarko juga berpendapat untuk penanganan perkara anak harus lintas sektoral, sedangkan jika melihat latar belakang yang ditemuinya pada kasus delinkuensi anak pada umumnya anak-anak yang melakukan tindak pidana tidak mendapatkan kenyamanan ketika di tengah-tengah keluarganya, umumnya mereka frustasi, dan ingin mendapatkan perhatian. Mereka mencoba mencari jati diri namun terjerumus melakukan perilaku yang melanggar norma dan etika. Namun dilihat dari segi latar belakang sosialnya merata, tidak selalu ditemukan pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Kasus-kasus yang masih sering dijumpai antara lain adalah pencurian, narkotika, pelecehan seksual, juga pembunuhan.

Menyoal penanganan yang tepat menurutnya lebih dikembalikan pada keluarga untuk memberikan perhatian yang cukup pada anak, penanaman nilai-nilai agama/religi. Terkait penyelesaian kasus-kasus ABH tugas jaksa melakukan penuntutan sesuai aturan hukum yang sudah ada, nantinya tergantung penilaian hakim,” tambahnya. Ia menegaskan tindak pidana yang dilakukan anak tidak harus dipidana, bisa jadi mereka menjadi anak negara. Problemnya jika menerapkan Restorative Justice (RJ) semua sisi harus dilihat. Hal ini menjadi kontradiksi, seringkali pemahaman masyarakat pelaku memang harus dihukum. “Pencuri kok dilepaskan”, ini korban dan masyarakat tidak bisa menerima kalau tidak dihukum penjara. Umumnya masyarakat itu tahunya kalau kasus anak juga harus dipidana, apalagi pada kasus residivis, paparnya. Pada residivis anak juga berlaku tindak pidana yang dilakukan akan memberatkan hukumannya. Aspek-aspek yang dilihat diantaranya berulangkali, berbelit-belit, sudah menikmati hasilnya, dan meresahkan masyarakat. Aspek normatif menjadi acuan jaksa untuk menuntut sanksi pemidanaan dengan maksud agar si anak jera.

Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

Part 1
Part 3
Part 4

Perkara Delinkuensi Anak Perlu Penanganan Holistik part 1

Delinkuensi Anak

Kenakalan anak terhadap hukum dan norma

Perbuatan pelanggaran hukum maupun norma-norma sosial yang dilakukan oleh anak biasa dikenal dengan istilah delinkuensi anak. Kasus-kasus delinkuensi anak adalah realita sosial yang sering kita temui di masyarakat dulu hingga sekarang. Jauh sebelum diberlakukannya UU Pengadilan Anak No 3 tahun 1997 penyelesaian kasus-kasus tindak pidana anak didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUHAP. Kalaupun ada, masih sedikit ditemui penyelesaian kasus-kasus anak dengan menerapkan kearifan lokal melibatkan masyarakat setempat untuk pemulihan korban dan perilaku si anak. Rata-rata kasus delinkuensi anak berakhir dengan proses peradilan. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan istilah anak yang melakukan tindak pidana atau yang melanggar norma hukum dan masyarakat dikenal dengan anak nakal, sedangkan dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 disebut sebagai ABH (anak berhadapan hukum). Penyebutan anak nakal dalam UU Pengadilan Anak lebih diperhalus penyebutannya menjadi Anak Berhadapan Hukum (ABH). Namun dalam UU Perlindungan Anak, ABH tidak sebatas pelaku saja, termasuk anak sebagai korban dan saksi. 

Kompleksnya persoalan tindak pidana anak dewasa ini menjadi fenomena yang memprihatinkan. Sehingga persoalan ini harus mendapatkan penanganan yang serius pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari keluarga, masyarakat sekitarnya, hingga pemangku kebijakan. Secara formil, hukum mengatur bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum, merugikan orang lain/kepentingan umum akan mendapatkan sanksi yang semestinya. Demikian halnya jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak. Anggapan yang sering muncul pelaku anak sama dengan kriminal pelaku dewasa. Pelbagai perbedaan sudut pandang mengenai tindak pidana anak, bahkan ketepatan usia anak untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, hingga pada soal penanganannya baik dari pemerintah, pemerhati anak, aparat hukum maupun masyarakat sangat mempengaruhi produk kebijakan anak dan implementasinya di masyarakat. Hal ini menjadikan penyelesaian kasus-kasus anak belum sepenuhnya memberikan pengaruh yang signifikan untuk terpenuhinya hak anak dan pada kondisi anak secara langsung.

Di satu sisi, kadangkala kesadaran hukum masyarakat juga menjadi dilema terhadap penerapan kasus-kasus anak. Kesadaran hukum yang tinggi tanpa disertai dengan pemahaman situasi dan kondisi psikososial anak seringkali mendorong masyarakat turut andil dalam memperkarakan anak melalui jalur hukum. Sering kita mendapati, masyarakat masih kurang sensitif terhadap persoalan delinkuensi anak, justru seringkali keberadaan mereka disingkirkan karena dianggap penyakit masyarakat. Ada kekhawatiran jika mereka dapat membawa pengaruh buruk bagi anak yang lainnya. Oleh sebab itu  sebagian besar masyarakat kita masih beranggapan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus dihukum pidana berupa pemenjaraan, sama halnya dengaan orang dewasa. Kalau tidak, pasti akan dianggap meresahkan masyarakat. Persoalan lain yang juga muncul setelah anak keluar dari penjara banyak ditemui kasus mereka tidak diterima kembali ke masyarakat. Kalaupun mereka dapat diterima seringkali masih ditemui warga masyarakat yang menaruh curiga terhadapnya.

Kasus-kasus tindak pidana ringan juga tidak luput dari sanksi pemenjaraan. Bentuk pemenjaraan masih dinilai sebagai solusi yang pas untuk penyelesaian kasus-kasus tersebut. Karena sanksi ini dinilai masih efektif memberikan efek jera pada anak. Secara otomatis anak tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Asumsinya, selama anak mendekam dalam penjara pasti akan berubah menjadi berperilaku baik. Namun asumsi ini tidak dapat dijadikan acuan mesti benar. Kenyatannya, hampir setiap tahunnya 4000 anak harus dihadapkan di meja persidangan untuk diadili karena perkara tindak pidana yang diperbuatnya. Data dari Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM mencatat pada tahun 2008 terdapat 42.854 anak menjadi tahanan, dan 34.690 diputus pidana. Dari 4 (empat) wilayah di Indonesia yakni Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta, propinsi Jawa Tengah termasuk menempati posisi tertinggi. Tahun 2008 di Jawa Tengah tercatat 4.622 diputus pidana kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 4.748 kasus.


Fakta tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus anak melalui pemenjaraan belum sepenuhnya dapat memecahkan problem mendasar persoalan delinkuensi anak. Maka tidak mengherankan apabila masih ditemukan anak-anak yang pernah divonis penjara kembali masuk penjara mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya (Residive), bahkan melakukan tindak pidana lain yang lebih berat ancaman hukumannya. Persoalan ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri dari kalangan pemerhati anak.

Silahkan klik link dibawah ini untuk melihat artikel yang berhubungan dengan delinkuensi anak:

Part 2
Part 3
Part 4

Friday, July 4, 2014

Saya sudah terdaftar sebagai DPT/DPK belum ya?

Apakah anda sudah terdaftar sebagai DPT?

Pilpres 2014


Tidak usah bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Karena sekarang kita bisa mengecek secara online apakah kita sudah terdaftar sebagai DPT/DPK atau belum.

Kita bisa mencarinya melalui web resmi dari KPU atau bisa langsung dengan klik di sini.

Thursday, July 3, 2014

Anda belum terdaftar sebagai pemilih? Tidak usah bingung kawan, disini ada solusinya

Bagaimana bila hingga saat ini saya belum terdaftar sebagai pemilih?

Ayo Memilih Kawan


Kadang-kadang pertanyaan di atas muncul, karena pada waktu pendaftaran untuk menjadi DPT ada kesibukan. Untuk Pemilu pada tanggal 9 Juli 2014 besok saudara-saudari tidak usah bingung. Karena walaupun tidak terdaftar sebagai DPT ataupun DPK tetap bisa ikut berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa hanya dengan membawa KTP.