Delinkuensi Anak
Perbuatan pelanggaran hukum maupun
norma-norma sosial yang dilakukan oleh anak biasa dikenal dengan istilah delinkuensi
anak. Kasus-kasus delinkuensi anak adalah realita sosial yang sering kita temui
di masyarakat dulu hingga sekarang. Jauh sebelum diberlakukannya UU Pengadilan
Anak No 3 tahun 1997 penyelesaian kasus-kasus tindak pidana anak didasarkan
pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUHAP. Kalaupun ada, masih
sedikit ditemui penyelesaian kasus-kasus anak dengan menerapkan kearifan lokal
melibatkan masyarakat setempat untuk pemulihan korban dan perilaku si anak. Rata-rata
kasus delinkuensi anak berakhir dengan proses peradilan. UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak menyebutkan istilah anak yang melakukan tindak pidana atau
yang melanggar norma hukum dan masyarakat dikenal dengan anak nakal, sedangkan
dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 disebut sebagai ABH (anak
berhadapan hukum). Penyebutan anak nakal dalam UU Pengadilan Anak lebih
diperhalus penyebutannya menjadi Anak Berhadapan Hukum (ABH). Namun dalam UU
Perlindungan Anak, ABH tidak sebatas pelaku saja, termasuk anak sebagai korban
dan saksi.
Kompleksnya persoalan tindak pidana
anak dewasa ini menjadi fenomena yang memprihatinkan. Sehingga persoalan ini
harus mendapatkan penanganan yang serius pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,
mulai dari keluarga, masyarakat sekitarnya, hingga pemangku kebijakan. Secara
formil, hukum mengatur bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum, merugikan orang
lain/kepentingan umum akan mendapatkan sanksi yang semestinya. Demikian halnya
jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak. Anggapan yang sering muncul
pelaku anak sama dengan kriminal pelaku dewasa. Pelbagai perbedaan sudut
pandang mengenai tindak pidana anak, bahkan ketepatan usia anak untuk dimintai
pertanggungjawaban pidana, hingga pada soal penanganannya baik dari pemerintah,
pemerhati anak, aparat hukum maupun masyarakat sangat mempengaruhi produk kebijakan
anak dan implementasinya di masyarakat. Hal ini menjadikan penyelesaian
kasus-kasus anak belum sepenuhnya memberikan pengaruh yang signifikan untuk
terpenuhinya hak anak dan pada kondisi anak secara langsung.
Di satu sisi, kadangkala kesadaran hukum masyarakat juga
menjadi dilema terhadap penerapan kasus-kasus anak. Kesadaran hukum yang tinggi
tanpa disertai dengan pemahaman situasi dan kondisi psikososial anak seringkali
mendorong masyarakat turut andil dalam memperkarakan anak melalui jalur hukum. Sering
kita mendapati, masyarakat masih kurang sensitif terhadap persoalan delinkuensi
anak, justru seringkali keberadaan mereka disingkirkan karena dianggap penyakit
masyarakat. Ada kekhawatiran jika mereka dapat membawa pengaruh buruk bagi anak
yang lainnya. Oleh sebab itu sebagian
besar masyarakat kita masih beranggapan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh
anak harus dihukum pidana berupa pemenjaraan, sama halnya dengaan orang dewasa.
Kalau tidak, pasti akan dianggap meresahkan masyarakat. Persoalan lain yang
juga muncul setelah anak keluar dari penjara banyak ditemui kasus mereka tidak
diterima kembali ke masyarakat. Kalaupun mereka dapat diterima seringkali masih
ditemui warga masyarakat yang menaruh curiga terhadapnya.
Kasus-kasus tindak pidana ringan juga tidak luput dari sanksi pemenjaraan. Bentuk pemenjaraan masih dinilai sebagai solusi yang pas untuk penyelesaian kasus-kasus tersebut. Karena sanksi ini dinilai masih efektif memberikan efek jera pada anak. Secara otomatis anak tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Asumsinya, selama anak mendekam dalam penjara pasti akan berubah menjadi berperilaku baik. Namun asumsi ini tidak dapat dijadikan acuan mesti benar. Kenyatannya, hampir setiap tahunnya 4000 anak harus dihadapkan di meja persidangan untuk diadili karena perkara tindak pidana yang diperbuatnya. Data dari Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM mencatat pada tahun 2008 terdapat 42.854 anak menjadi tahanan, dan 34.690 diputus pidana. Dari 4 (empat) wilayah di Indonesia yakni Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta, propinsi Jawa Tengah termasuk menempati posisi tertinggi. Tahun 2008 di Jawa Tengah tercatat 4.622 diputus pidana kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 4.748 kasus.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus anak melalui pemenjaraan belum sepenuhnya dapat memecahkan problem mendasar persoalan delinkuensi anak. Maka tidak mengherankan apabila masih ditemukan anak-anak yang pernah divonis penjara kembali masuk penjara mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya (Residive), bahkan melakukan tindak pidana lain yang lebih berat ancaman hukumannya. Persoalan ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri dari kalangan pemerhati anak.
Kasus-kasus tindak pidana ringan juga tidak luput dari sanksi pemenjaraan. Bentuk pemenjaraan masih dinilai sebagai solusi yang pas untuk penyelesaian kasus-kasus tersebut. Karena sanksi ini dinilai masih efektif memberikan efek jera pada anak. Secara otomatis anak tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Asumsinya, selama anak mendekam dalam penjara pasti akan berubah menjadi berperilaku baik. Namun asumsi ini tidak dapat dijadikan acuan mesti benar. Kenyatannya, hampir setiap tahunnya 4000 anak harus dihadapkan di meja persidangan untuk diadili karena perkara tindak pidana yang diperbuatnya. Data dari Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM mencatat pada tahun 2008 terdapat 42.854 anak menjadi tahanan, dan 34.690 diputus pidana. Dari 4 (empat) wilayah di Indonesia yakni Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta, propinsi Jawa Tengah termasuk menempati posisi tertinggi. Tahun 2008 di Jawa Tengah tercatat 4.622 diputus pidana kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 4.748 kasus.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus anak melalui pemenjaraan belum sepenuhnya dapat memecahkan problem mendasar persoalan delinkuensi anak. Maka tidak mengherankan apabila masih ditemukan anak-anak yang pernah divonis penjara kembali masuk penjara mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya (Residive), bahkan melakukan tindak pidana lain yang lebih berat ancaman hukumannya. Persoalan ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri dari kalangan pemerhati anak.
0 comments:
Post a Comment